Wednesday, July 31, 2013

The Ruins (2008) : Cerita Tentang Tanaman Pemakan Manusia



Title: The Ruins
Year : 2008
Genre: Horror
Duration: 1 hr 32 mins
Directed by: Carter Smith
Written by : Scott B. Smith (screenplay & novel)
Starring: Shawn Ashmore, Jena Malone, Jonathan Tucker, Laura Ramsey 
Fright Rate : **** (4/5)

The Ruins (2008) : Cerita Tentang Tanaman Pemakan Manusia


Jujur saja, sudah dua kali saya nonton film ini dan hasilnya tetap sama, a scary eco-horror movie, IMO. Plus, ini juga merupakan film yang lumayan detail dalam mendeskripsikan teror dan keantagonisan sebuah tanaman, meski sebenarnya tanaman tersebut hanya bertindak natural sesuai dengan kemampuan untuk bertahan hidup yang dimilikinya. Mungkin saya agak terlambat untuk me-review film ini, tapi sesuai kata pepatah “biar lambat, asal selamat” (nggak nyambung kan :-)). Ceritanya diangkat dari novel berjudul sama dengan film ini karya Scott B. Smith. Meski belum membaca novelnya, paling tidak 98% saya percaya bahwa novelnya pasti cukup menakutkan dan sangat menarik untuk dibaca, karena Scott B. Smith juga menulis screenplay untuk film ini. Means, pasti visualisasinya di film nggak jauh-jauh amat dari apa yang sudah ditulis di novel, tapi itu baru analisa saya. Demi memperbaiki opini saya tentang perbandingan novel The Ruins  dengan filmnya, silahkan beri komentar bagi siapapun yang telah membaca novel The Ruins, supaya posting ini jadi lebih obyektif lagi. Enough for the crap chit-chat, langsung saja kita lihat semenarik apa sebenarnya The Ruins.



The Ruins diawali dengan cerita tentang liburan Jeff (Jonathan Tucker), Amy (Jena Malone), Eric (Shawn Ashmore), dan Stacy (Laura Ramsey) di Meksiko. 4 remaja asal Amerika ini berkenalan dan akhirnya berteman dengan Mathias, seorang turis asal Jerman. Saudara Mathias kebetulan sedang melakukan penelitian arkeologi (bahasa kerennya ekskavasi) tentang sebuah kuil peninggalan suku Maya di pedalaman Meksiko dan Mathias berencana untuk menyusul saudaranya kesana. Karena tertarik, akhirnya 4 remaja Amerika ini bersedia ikut dengan Mathias ke pedalaman Meksiko bersama seorang teman Mathias asal Yunani, Dimitri. Mereka berenam akhirnya sampai ke kuil peninggalan suku Maya tersebut, namun ada hal yang janggal sesampainya disana. Suku Maya yang masih tersisa di sebuah desa dekat kuil melarang 6 remaja ini untuk naik ke kuil tersebut. Keadaan makin kacau ketika Amy secara tak sengaja menginjak tanaman merambat yang tumbuh menyelubungi kuil. Keenam remaja ini kemudian dikepung oleh belasan suku Maya bersenjata lengkap dan tak boleh pergi dari tempat tersebut, hingga akhirnya Dimitri tewas terkena anak panah dari salah satu anggota suku Maya. Karena panik, akhirnya kelima remaja ini berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke kuil hingga terjebak di tengah kepungan suku Maya dan disinilah teror yang sebenarnya dimulai. Mulai dari bagaimana cara bertahan hidup dengan sedikit makanan, menghadapi suku Maya yang tak bersahabat, hingga yang paling mengerikan adalah tanaman menjalar yang siap menerkam mereka kapan saja hingga mati. Akhirnya mereka sadar bahwa kuil tersebut menyimpan suatu misteri yang tak terduga dan akan berusaha merenggut nyawa mereka satu per satu.


Cerita The Ruins sebenarnya sangat sederhana, namun yang menjadi kekuatan film ini sebenarnya adalah pendeskripsian secara eksplisit tentang bagaimana bertahan hidup di lingkungan yang sangat asing, tak bersahabat, misterius, juga cenderung mematikan secara perlahan. Selain itu, Scott B. Smith nampaknya ingin menyampaikan pesan di film ini sesuai pepatah “dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak”. Patuhi adat istiadat setempat dan jangan coba-coba  untuk menantang alam. Menariknya lagi, seperti yang telah saya jelaskan didepan, tokoh antagonis utama The Ruins adalah sebuah tanaman menjalar yang mendapatkan nutrisi untuk hidup dari jasad manusia. Terlepas dari fakta atau fiksi tentang keberadaan tanaman tersebut, ide untuk menjadikan tanaman sebagai antagonis utama di sebuah film itu sendiri cukup original di mata saya. Meski mungkin banyak film horror yang melibatkan pohon atau tanaman untuk memberikan kesan creepy dan scary, tapi jarang sekali yang memberikan porsi besar “keganasan” suatu tanaman seperti di The Ruins ini.


Walaupun The Ruins menggunakan amat banyak efek CGI/animasi di dalamnya (karena ini adalah film produksi Dreamworks dan didistribusikan oleh Paramount), namun efek tersebut terasa sangat hidup dan betul-betul bisa memberikan nuansa kengerian bagi penontonnya, jauh dari kesan “kacangan” dan “tempelan”. Yang bikin saya agak jengkel di film ini cuma tokoh Jeff, karena sifatnya yang sok heroik dan tak tampak panik dalam menghadapi situasi genting. Jeff ini cuma bikin mata jadi agak “sepet” karena tingkah laku bossy-nya. Sebenarnya, saya lebih menghargai tindakan bodoh dan agak ceroboh bahkan nekat yang dilakukan seseorang karena panik dan tak mampu berpikir lagi karena situasi, bukan seperti Jeff yang cenderung terlalu pintar dan lumayan tenang menurut opini saya di film ini. Secara umum sih, nggak ada yang terlalu lebay  ditampilkan di The Ruins, semua hal masih dalam porsi standar dan cukup, hingga film ini menjadi suatu film yang cukup menegangkan dan menakutkan untuk ditonton.

Kesimpulannya, film ini layak untuk ditonton. Terlepas dari adanya plot hole serta berbagai kejanggalan yang terjadi sepanjang film, saya terhibur dengan The Ruins. Ditambah sedikit bumbu nuansa creepy dan sedikit gory, membuat The Ruins cukup  recommended untuk dijadikan tontonan akhir pekan buat yang lebih suka menyendiri atau berdua dengan sang kekasih di depan DVD player plus TV  serta sekantong popcorn. 

No comments:

Post a Comment